15.7.16

>> Tradisi balas dendam berdarah di Albania sejak abad - 15 hingga sekarang

Mereka menjani hidup penuh derita dan seringkali kehilangan kesempatan bersekolah. Selain itu mereka setiap hari dihantui ancaman pembunuhan. Mereka adalah anak-anak Albania yang hidup di bawah bayang-bayang budaya balas dendam yang dalam bahasa setempat disebut Gjakmarrja. Beberapa anak terpaksa hidup dalam persembunyian, didera ketakutan akan menjadi korban selanjutnya dari tradisi berdarah Albania yang hidup di kawasan pegunungan negeri itu sejak abad ke-15.

Tradisi balas dendam yang terus berlanjut itu, membuat hampir semua pria di kawasan ini sangat mahir menggunakan berbagai jenis senjata. Anak-anak itu berbicara soal mimpi mereka pergi bersekolah ke Shkodra, sebuah kota yang berjarak 90 kilometer di sebelah utara ibu kota Tirana dan tak jauh perbatasan dengan Montenegro.

Albert dan Klevis bersama ibu mereka di rumah persembunyian di dekat kota Shkroda, Albania. Mereka harus bersembunyi akibat masih lestarinya budaya balas dendam di wilayah utara Albania.

Klevis (13) bercita-cita ingin menjadi dokter, sementara sang adik, Albert (11) ingin menjadi menteri kehakiman Albania.  Lalu ada Marcel (13) yang ingin menjadi penyanyi serta Taulant (13) yang bermimpi ingin menjadi pemain sepak bola profesional. Namun mimpi mereka hanya sekadar menjadi angan-angan, tak satu pun dari mereka yang bisa bersekolah, bergabung dengan klub sepak bola atau belajar musik.

Keluarga anak-anak ini terjerat dalam siklus berdarah dan balas dendam yang menjadi tradisi dan warisan leluhur mereka. Klevis, Albert dan Marcel adalah bagian dari sebuah keluarga besar yang terpaksa bersembunyi sambil menanti dengan cemas kedatangan "Gjakes", sang pembunuh tak dikenal. Para Gjakes ini bisa saja datang esok hari, lusa atau bahkan sama sekali tak pernah datang. Rasa khawatir anak-anak ini muncul hanya karena adalah berhubungan darah dengan pria yang membunuh seorang pria lainnya dalam perselisihan soal sumber air pada 2010.

"Anak-anak ini di masa depan bisa saja menjadi seorang pembunuh," kata Gjin Marku, yang berupaya keras mendorong rekonsiliasi antara keluarga yang bersengketa.

Tradisi Gjakmarrja atau balas dendam berdarah, berawal dari Kanun atau aturan sosial pada abad ke-15 yang mengatur kehidupan sehari-hari warga Albania di abad pertengahan itu. Di dalam Kanun ini diatur dengan jelas tentang Gjakmarrja ini, bahwa jika seseorang tewas dibunuh maka keluarga korban berhak membalas dendam tak hanya terhadap si pembunuh tetapi semua pria di keluarga besar si pembunuh.

"Keluarga yang terlibat dalam balas dendam berdarah ini tahu bahwa mereka akan dibunuh atau harus membunuh," ujar wali kota Skhodra, Voltana Ademi. Namun, Gjin Marku mengatakan, aturan Kanun tak memicu pembunuhan ini. Dia menyebut pemerintah yang paling bertanggung jawab atas kelangsungan tradisi brutal ini.

"Saat institusi pemerintah tak bekerja, sistem hukum gagal, maka orang-orang ini tak menemukan solusi terhadap masalah mereka," ujar Marku. Hal senada disampaikan pejabat ombudsman yang bertanggung jawab untuk menyudahi tradisi ini, Igli Totozani. Dia sepakat rangkaian pembunuhan ini bukan sekadar hasil sebuah tradisi.

"Di saat negara absen, balas dendam mengambil alih. Kami menghancurkan citra Albania dengan berpura-pura bahwa hal ini tidak ada,"ujar Totozani. Sedikitnya 66 keluarga yang terdiri dari 157 orang, termasuk 44 anak-anak kini bersembunyi di pegunungan, berdasarkan sebuah laporan resmi yang dirilis pada April lalu. Sekitar 57 keluarga bersembunyi di sekitar kota Skhodra dan laporan ke polisi terkait pembunuhan-pembunuhan ini sangat jarang dilakukan.

Gjin Marku mengatakan, secara bertahap fenomena balas dendam ini terus menurun tetapi diperkirakan sekitar 190 anak-anak masih terdampak dan 80 persen dari mereka tak bersekolah akibat tradisi brutal ini. Pemerintah Albania terkesan enggan mengakui kondisi ini atau merilis jumlah warganya yang terdampak tradisi kuno itu karena khawatir akan merusak upaya negeri itu bergabung dengan Uni Eropa. Yang jelas sebesar apapun masalahnya, ancaman balas dendam masih sangat tinggi di negara yang, menurut perkiraan terakhir, setengah juta rakyatnya memiliki senjata api.
(sumber)