20.7.16

>> Kisah perjuangan ke Sekolah yang mempertaruhkan nyawa

Semangat anak-anak kecil ini sungguh luar biasa. Demi merengkuh ilmu, mereka mengambil risiko berbahaya ke sekolah. Menentang arus sungai, memanjat tebing, Bahkan ada yang lima jam berjalan kaki sampai sekolah.

Tangga darurat

Dengan berhati.-hati, murid Desa Atule’er, Liangshan Yi , Sichuan, Cina memanjat kembali ke desa setelah lelah menuntut ilmu di sekolah. Mereka mencengkram tangga bambu/kayu dan tanaman rambat di tebing terjal agar tidak terjatuh. Penduduk desa menggunakan tangga yang sama untuk pergi ke pasar terdekat sekitar seminggu sekali, guna menjual paprika dan kenari atau membeli kebutuhan sehari-hari.


Dua jam perjalanan

Murid dari Desa Atule’er terbiasa merambat sambil memanjat tebing saat pulang ke rumah selepas sekolah. Lebih dari 70 keluarga tinggal di desa Atule’er, yang berketinggian sekitar 800 meter di atas Sungai Meigu, Liangshan Yi, ini. Demi bisa bersekolah, belasan murid, yang berusia 6 sampai 15, disertai dengan 3 orang dewasa secara teratur menghabiskan 2 jam mendaki tebing.


Memanjat hampir 1 km

Memanggul ransel, anak-anak sekolah ini mendaki tebing terjal sepanjang 800 meter di Zhaojue, daerah otonomi Liangshan Yi, Provinsi Sichuan, Cina. Mereka pulang sekolah dan dalam perjalanan ke rumah. Setelah nasib anak–anak ini mendapat perhatian masyarakat internasional, mereka dijanjikan akan mendapat tangga baja untuk menggantikan tangga bambu yang rapuh ini.


Lima jam ke sekolah

Menuju sekolah, murid-murid SD ini menyusuri kaki gunung di tebing gunung yang berbatasan dengan sungai Dadu di Desa Gulu, Wusihe, Hanyuan. Sekolah dasar yang dituju melekat ke tebing curam. Untuk sampai ke sekolah, siswa harus berjalan kaki di jalur-jalur curam selama lima jam. Bahaya mengintai, jika ada angin menerpa saat dalam perjalanan.


Bawa perlengkapan di tengah intaian bahaya

Siswa mengangkut barang mereka untuk kembali ke sekolah di jalur lembah pegunungan terjal di Desa Nongyong, Dahua Yao, Guangxi Zhuang, Cina. Rumah anak-anak tersebar di antara pegunungan & jauh dari sekolah. Sebagian besar dari mereka mendapat akomodasi di sekolah selama semester berlangsung. Namun, ketika musim panas, mereka harus melakukan perjalanan berbahaya ini, antara rumah dan sekolah.


Andalkan ban karet

Para pelajar SD di provinsi Rizal, Filipina ini menggunakan ban karet sebagai sarana melayari sungai untuk pulang pergi sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 2 km. Jika arus sungai meluap, ancaman bahaya semakin besar. Di Filipina, akses terhadap pendidikan, terutama di daerah pedesaan, masih menjadi masalah, tetapi tingkat pendaftaran tetap relatif tinggi, yakni mencapai 85 persen.


Dengan rakit bambu darurat

Siswa SD Filipina menyeberangi sungai dengan rakit bambu darurat di hari pertama tahun ajaran baru di sebuah desa terpencil di provinsi Rizal, timur Manila, Filipina. meskipun hanya 62 persen menyelesaikan sekolah tinggi. Di Filipina, meski minat mendaftar sekolah tergolong tinggi, hanya 62 % yang lulus


Murid Indonesia juga pernah mengalami

Beberapa anak Indonesia di pelosokl juga pernah mengalami nasib serupa. Tampak anak-anak SD menyeberangi sungai menggunakan jembatan rusak parah di Lebak, Provinsi Banten. Sekian lamanya pemerintah meremehkan risiko bahaya bagi anak-anak yang setiap hari pergi ke sekolah. Mengerikan melihat anak-.anak kecil melalui bahaya di atas jembatan miring yang rusak itu.


Sebenarnya bukan jembatan

Siswa SD pergi ke sekolah melalui jembatan gantung yang menghubungkan desa Suro dan desa Plempungan di Boyolali, Jawa Tengah. Rangkaian batang besi sepanjang 30 meter dan lebar 1,5 meter yang terletak 10 meter di atas sungai ini sebenarnya bukan jembatan, tetapi saluran irigasi yang mengalirkan air dari waduk Cengklik ke sawah sekitarnya.
(sumber)