Temuan yang dirilis oleh PBB tersebut menyebutkan kalau tentara pemerintah diperbolehkan menjarah, memerkosa, dan membunuh warga sipil, bahkan setelah faksi menandatangani kesepakatan damai dan pembagian kekuasaan pada bulan Agustus tahun lalu.
Dokumen yang dipublikasikan pada hari Jumat di Jenewa menunjukkan, meski kedua belah pihak menyerang warga sipil, tentara pemerintah lebih banyak melakukannya karena pihak pemberontak kekuatannya tengah melemah.
Antara April hingga September tahun lalu, pengamat PBB mengatakan sedikitnya 1.300 insiden pemerkosaan tercatat di negara bagian Unity yang kaya minyak di Sudan selatan.
Daerah tersebut merupakan daerah tempat sebagian besar pertempuran terjadi antara tentara SPLA dengan pemberontak. PBB mengatakan, pejuang diizinkan untuk 'bermain' dengan perempuan sebagai upah.
"Seorang wanita menggambarkan, bagaimana selama serangan di desanya pada bulan Oktober 2015, tentara SPLA mengikatnya ke sebuah pohon dan memaksanya menyaksikan putrinya yang berusia 15 tahun diperkosa oleh 10 tentara, setelah suaminya dibunuh," ujar juru bicara PBB seperti dikutip dari Nation.co.ke, Minggu (13/03/2016).
Dalam kasus lain, seorang perempuan muda yang bersembunyi, ditarik, dipukuli, diperkosa oleh tentara. Saat ia kembali ke rumah, ia menemukan ibu dan tiga saudara perempuannya mendapat perlakuan yang sama.
Sejak konflik dimulai pada bulan Desember 2013, PBB memperkirakan telah terjadi 50.000 kematian dan dua juta migrasi. Bahkan, meski pada tahun 2015 terjadi kesepakatan damai, pembunuhan tetap berlanjut.
"Jumlah pemerkosaan yang tercantum mungkin hanya gambaran kecil," tutur Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Zeid Ra'ad Al-Hussein. Menurut ia, apa yang terjadi di Sudan bak fenomena gunung es. Kebenarannya mungkin lebih mengerikan.
( sumber )